Kuda Perang di Jalanan

Ketika Mishary melantunkan surah Al Adiyat dari aplikasi iQuran di hape android saya, saya seperti terpesona dan sering menyetelnya berulang-ulang, seperti remaja yang kecanduan lagu kesayangannya. Efeknya saya jadi ‘ngelangut’, yaitu sering membaca terjemahannya dan memasukkan kedalam hati. Pernah juga saya pikirkan, tapi lebih sering saya masukkan dalam perasaan tanpa dipikir.

Karena itu cuma main perasaan tanpa ilmu dan logika, maka kemudian yang tampil adalah ‘ilmu gathuk’, yaitu mengkait-kaitkan tanpa dasar yang jelas. Maka kemudian saya membayangkan sebuah ‘kuda perang’ di jalanan Jakarta.

Tentu saja wujudnya bukan kuda beneran, tapi sepeda motor yang saya kendarai. Yang berlari kencang tiap hari, dengan tarikan gas yang terengah-engah. Kalau kuda perang itu menyerang di waktu pagi atau subuh, sama seperti sepeda motor saya ini yang mulai beroperasi ketika jam berangkat kantor. Asap knalpotnya ibarat debu yang beterbangan. Kemudian “menyerbu ke tengah-tengah jama’ah/kumpulan (musuh)”, saya otomatis terpikir dengan kemacetan dan kumpulan kendaraan didepan.

Terus kenapa ada embel-embel ‘perang’?

Ini jalanan Jakarta, saya lihat tak ubahnya medan perang. Saling serobot, saling kebut dan tak mau kalah, apa bedanya dengan perang? Ribuan jiwa sama-sama terbantai disini.

Sejalan dengan ayat selanjutnya, yang timbul kemudian perenungan. Tentang jiwa-jiwa yang tak tahu berterimakasih, tentang gengsi dan keingkaran yang disaksikan dengan jelas.

Tentang kecintaan harta dan dunia, yang menjadikan kikir dan serakah. Perjalanan menuju kerja sudah seperti medan perang. Pekerjaan sendiri juga seperti perang, berebut nafkah, karier, dan rezeki dari jutaan saingan kita.

Maka diingatkan… diingatkan lagi tentang sesuatu yang sangat dekat dengan perang, yaitu kematian.

Penyesalan dan rasa malu setelah bangkit dan dilepaskan segala perasaan yang disembunyikan dalam dada …

dihadapan Tuhan…

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

Nikmat dan Dusta

Suatu pagi saya ke mushola, banyak yang melakukan sholat duha. Saya lihat banyak juga yang sholat. Entah karena masalah seragam, karena itu lebih mencolok, saya lihat kebanyakan Office Boy/Girl, Cleaning Service,  Satpam, Petugas Parkir yang melakukan sholat. Gampangannya, dalam pikiran saya yang banyak sholat duha itu golongan bawah, atau setidaknya level terbawah dalam lingkungan kerja saya.

Saya langsung terpikir mungkin karena sholat duha dalam perspektif masyarakat umum adalah agar dilapangkan rezeki. Lagi-lagi pikiran saya yang picik ini mengasosiasikan bahwa pekerja level bawah itu sering melakukan sholat duha agar rezekinya ditambah. Pas saja, lha gaji mereka khan terbatas. Kalo pekerja level atas atau bos mungkin sudah gak perlu lagi minta tambahan rezeki.

Yang terpikir oleh saya saat itu… sayangnya pikiran negatif; mereka itu sudah gak ada jalan lain untuk nambah penghasilan, akhirnya pasrah memohon pada The Ultimate, Allah SWT. Sangat menyesal saya terpikir seperti itu, tapi memang itulah yang terpikir. Betapa sombongnya saya, yang mungkin merasa lebih beruntung dari mereka, yang tak perlu bekerja dan berpikir terlalu keras mendapat gaji berlipat-lipat dari mereka.

Lalu saya coba netralkan pikiran negatif itu. Apa iya saya telah tentram dengan gaji yang cukup? tenang iya, karena nggak diburu-buru tukang tagih hutang, tapi tentram? Saya nggak bisa jawab. Saya malah ngeri ketika membuka catatan pendapatan dan pengeluaran saya. Banyak yang tak pernah saya bayangkan ketika saya pertama merintis karier. Pendeknya begini, dulu saya bisa sangat menghargai uang, serupiah demi serupiah terasa sangat berharga. Mendapat tambahan pendapatan beberapa puluh ribu terasa bahagia banget. Kini banyak bonus puluhan juta rasanya tak sebahagia dulu. Kini terasa begitu gampang membuang uang. Kini ada kesombongan tentang nilai uang. Kini terasa bahwa kebahagiaan itu ditebus dengan lebih mahal. Terasa ada yang hilang.

Karena saya biasa dan rutin menerima rezeki yang banyak (kalau saya samakan gaji itu dengan rezeki) membuat saya jadi lalai. Bersyukur iya diucapkan, karena punya perbandingan dengan masa kere dulu, namun tidak direnungkan. Karena diterima rutin tiap bulan, dengan jumlah yang sama (bahkan meningkat), rezeki itu tak terasa sebagai suatu yang luarbiasa. Ibaratnya, bila tiap hari hujan, maka curahan air dari langit adalah hal yang biasa. Beda bila di gurun pasir, turunnya hujan (yang langka) akan menjadi anugerah yang tak terkira.

Apakah saya harus miskin lagi agar bisa menikmati betapa berharganya rezeki? kalau begitu saya gagal. Apakah harus dicabut semua nikmat ini agar bisa menghargai nikmat Tuhan? ekstrim sekali… itu artinya saya harus mati agar bisa berterima kasih atas kehidupan ini. Artinya, semua sudah terlambat.

Lalu saya teringat ketika sholat ied, ada suatu kalimat yang diulang-ulang; “Fa-biayyi alaa’i Rabbi kuma tukadzdzi ban “. Baru kemarin saya cari surat apa dan apa artinya itu, kemudian terbentanglah surat Ar Rahman, yang mengulang sebanyak 31 kali kalimat “Fa-biayyi alaa’i Rabbi kuma tukadzdzi ban” (Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?) yang terletak di akhir setiap ayat yang menjelaskan nikmat Allah yang diberikan kepada manusia.

Tak terasa air mata meleleh. Mulai dari awal penciptaan, Allah telah memberikan nikmatnya. Namun setiap kali dianggap sebagai suatu keniscayaan, suatu hal yang tak perlu dipertanyakan lagi, sampai Allah sendiri menanyakan (berkali-kali) akan kedustaan itu. Tapi satu yang membuat saya terhibur, bahwa kelalaian saya ini memang wajar dalam diri manusia, setidaknya saya berpikir normal. Maka itu Al Quran selalu mengingatkan ‘kenormalan berpikir’ itu (bagi yang mau membaca).

Kembali ke sholat duha, terpikir kemudian betapa picik pikiran saya tentang rezeki. Kalau orang mengharap rezeki dalam arti harfiah berupa harta, kemungkinan itu terbuka lebar. Keyakinan akan rezeki diawal hari juga akan memotivasi kerja. Kalaupun rezeki dalam arti nominal harta belum didapat, konsep mengenai rezeki telah diubah dalam sholat duha. Rezeki lebih luas dari pada pendapatan harta. Mendapat satu juta rupiah dengan penuh rasa syukur insya Allah akan berbeda dengan mendapat satu juta dengan perasaan biasa. Mungkin istilahnya adalah barokah. Tidak mendapat sakit, musibah ataupun tambahan keinginan berbelanja, atau mendapat efisiensi menurut saya juga rezeki.

Seperti biasa, kemudian pikiran saya lalu kemana-mana. Saya melihat kembali keluarga saya ; nikmat Tuhan mana yang saya dustakan?.

Ya Allah, betapa terasa sekarang istri saya itu cantik, seksi dan baik sekali. Perempuan yang saya impikan dan saya perjuangkan agar menjadi istri saya. Dia pakaian saya, pelindung dari maksiat, pendamping setia dalam suka duka, serta pembimbing anak-anak saya.

Dan saya lihat anak-anak saya. Betapa lucu, cerdas, tampan dan cantiknya mereka. Anugerah bila saya nanti tak mampu punya amal lagi, apabila selalu mendoakan orang tuanya.

Dan nikmat Tuhan mana yang saya dustakan?

Mulai saat ini saya akan berbuat yang terbaik bagi mereka. Saya berjanji!

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

Republik Rakyat Tempe

Republik Rakyat Tempe Beberapa penjelasan tentang manfaat tempe sudah terlalu banyak diketahui masyarakat. Jadi, tulisan ini tidak bermaksud ‘menggarami lautan’ dan bukan pula memulai pro kontra tentang kebaikan tempe yang sudah tersohor itu. Tempe adalah makanan bergizi dan mengandung zat antioksidan, sehingga dapat diandalkan untuk mencegah kanker. Begitulah sering terdengar khasiat makanan murah meriah tersebut. Namun tentu saja banyak makanan yang bergizi selain tahu dan tempe. Itu masalah pilihan. Tapi kenapa tahu dan tempe yang digembar-gemborkan, itu masalah politis supaya rakyat kecil cukup puas dan merasa sehat walaupun cuma makan tahu dan tempe saja, sehingga tidak menuntut yang macam-macam. Seperti susu yang masih dikategorikan sebagai barang mewah, sehingga tak perlu apabila harganya melambung tinggi itu wajar saja. Apalagi yang perlu susu kan cuma anak kecil. Wacana tentang zat antioksidan sebagai pencegah kanker rasanya perlu dijabarkan secara komprehensif. Dalam takaran berapa tahu atau tempe yang perlu dimakan dalam sehari yang terbukti efektif mencegah kanker? Mengingat begitu besarnya faktor karsinogen (pembentuk kanker) yang ada di lingkungan kita seperti virus, polusi, kebocoran ozon, tingkat stress dan zat-zat aditif yang berbahaya termasuk formalin yang banyak digunakan dalam industri pengolahan makanan ! Informasi yang sepotong-sepotong bisa menjerumuskan kita yang awam ini. Dengan memakan seiris tahu atau tempe goreng lantas kita merasa sudah cukup sehat. Padahal dalam era industri seperti sekarang, tahu atau tempe goreng itu besar kemungkinan mengandung berbagai macam zat karsinogen seperti : Minyak yang digoreng adalah minyak yang sudah berulang-ulang dipakai, dibubuhi pengawet, tepung bumbunya yang mengandung perasa atau MSG, Kedelainya yang diimpor entah dari mana dan bagaimana mengolahnya, atau warung penjualnya yang dipinggir jalan disinggahi virus dan bakteri yang gentayangan. Informasi yang sepotong-sepotong itu pula yang sering kita terima dalam berbagai pemberitaan di media massa. Baik yang secara resmi disebarkan pemerintah maupun hasil investigasi oleh pihak lain. Dalam era keruwetan seperti sekarang ini sangat jarang ada sesuatu yang bisa dijelaskan dengan sederhana. Sehingga kemudian semua orang bisa berbicara bahkan melakukan aksi dengan dasar dan ilmu yang sepotong-sepotong pula. Memang sekarang jamannya demokrasi. Namun itu bukan berarti semua berdasar pada pendapat atau suara terbanyak. Beberapa persoalan kadang kala memerlukan orang yang benar-benar ahli dan memiliki informasi yang benar, sehingga pendapat awam bisa dikesampingkan. Yang jadi persoalan sekarang adalah persoalan sulit dibedakan yang memerlukan penanganan ahli (mungkin juga karena semua merasa ahli). Kini yang ramai dibicarakan adalah tentang beredarnya produk dari Cina yang mengandung formalin. Beberapa waktu yang lalu tentang bakso yang mengandung borax dan formalin, dan berbagai macam makanan yang diawetkan dengan formalin. Sepertinya masyarakat sudah sangat sering digelisahkan dengan isu-isu sepotong-sepotong yang tidak bertanggung jawab. Ya, tidak bertanggung jawab. Atau bahasa halusnya tak ada koordinasi yang baik. Seharusnya yang menciptakan keresahan dengan isu-isu tersebut mempunyai langkah-langkah yang cepat dan nyata dalam menanggulangi hal-hal seperti itu. Jangan hanya melempar statemen saja. Kita berterimakasih telah dilakukan peringatan terhadap hal-hal semacam itu, namun masyarakat bukanlah regulator yang mampu dan berwenang mengatasi masalah secara sistematis. Yang tercipta adalah kepanikan dan korban-korban lain yang seharusnya tak perlu terjadi. Sayang tidak pernah terinformasi dulu berapa industri kecil yang gulung tikar karena isu bakso berformalin. Sekarang BPOM mengeluarkan statemen bahwa semua produk makanan dari Cina akan dilarang masuk (Banjarmasin Post, Sabtu, 28 Juli 2007). Kita marah-marah ketika maskapai Indonesia dilarang terbang eropa, namun kita melakukan kemudian generalisasi yang sama. Mengapa bukan “Semua produk yang tak layak dikonsumsi dilarang beredar”. Kita tidak peduli buatan Cina atau buatan Tukang Penthol sebelah rumah, apabila tak aman dikonsumsi maka harus dilarang. Alangkah baiknya andai pemerintah menarik produk-produk bermasalah tersebut dan menjatuhkan sanksi kepada yang membuat ulah, tanpa ribut-ribut terlebih dahulu. Kita jadi berpikir, jangan-jangan pemerintah lebih mengandalkan kecepatan media massa dan reaksi masyarakat untuk mengatasi masalah mereka sendiri. Atau pemerintah yang kebobolan. Sehingga kita juga jadi berpikir buat apa kita menggaji aparatur negara. Kita tidak tahu berapa lama kita mungkin telah teracuni oleh makanan yang seharusnya tak layak dikonsumsi. Dan kita juga tidak mau dihantui oleh perasaan was-was setiap menyantap makanan yang kita santap. Hidup sudah susah, masih juga ditakuti-takuti. Mungkin sekarang saatnya kita kembali ke tempe, back to tempe. Dengan syarat tempe yang murni dengan kedelai non impor, dan digoreng dengan minyak kelapa buatan rumah tangga. Biar saja dibilang terbelakang dan berkualitas rendah. Biar melarat asal selamat. Menjadi Republik Rakyat Tempe yang damai

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar