Suatu pagi saya ke mushola, banyak yang melakukan sholat duha. Saya lihat banyak juga yang sholat. Entah karena masalah seragam, karena itu lebih mencolok, saya lihat kebanyakan Office Boy/Girl, Cleaning Service, Satpam, Petugas Parkir yang melakukan sholat. Gampangannya, dalam pikiran saya yang banyak sholat duha itu golongan bawah, atau setidaknya level terbawah dalam lingkungan kerja saya.
Saya langsung terpikir mungkin karena sholat duha dalam perspektif masyarakat umum adalah agar dilapangkan rezeki. Lagi-lagi pikiran saya yang picik ini mengasosiasikan bahwa pekerja level bawah itu sering melakukan sholat duha agar rezekinya ditambah. Pas saja, lha gaji mereka khan terbatas. Kalo pekerja level atas atau bos mungkin sudah gak perlu lagi minta tambahan rezeki.
Yang terpikir oleh saya saat itu… sayangnya pikiran negatif; mereka itu sudah gak ada jalan lain untuk nambah penghasilan, akhirnya pasrah memohon pada The Ultimate, Allah SWT. Sangat menyesal saya terpikir seperti itu, tapi memang itulah yang terpikir. Betapa sombongnya saya, yang mungkin merasa lebih beruntung dari mereka, yang tak perlu bekerja dan berpikir terlalu keras mendapat gaji berlipat-lipat dari mereka.
Lalu saya coba netralkan pikiran negatif itu. Apa iya saya telah tentram dengan gaji yang cukup? tenang iya, karena nggak diburu-buru tukang tagih hutang, tapi tentram? Saya nggak bisa jawab. Saya malah ngeri ketika membuka catatan pendapatan dan pengeluaran saya. Banyak yang tak pernah saya bayangkan ketika saya pertama merintis karier. Pendeknya begini, dulu saya bisa sangat menghargai uang, serupiah demi serupiah terasa sangat berharga. Mendapat tambahan pendapatan beberapa puluh ribu terasa bahagia banget. Kini banyak bonus puluhan juta rasanya tak sebahagia dulu. Kini terasa begitu gampang membuang uang. Kini ada kesombongan tentang nilai uang. Kini terasa bahwa kebahagiaan itu ditebus dengan lebih mahal. Terasa ada yang hilang.
Karena saya biasa dan rutin menerima rezeki yang banyak (kalau saya samakan gaji itu dengan rezeki) membuat saya jadi lalai. Bersyukur iya diucapkan, karena punya perbandingan dengan masa kere dulu, namun tidak direnungkan. Karena diterima rutin tiap bulan, dengan jumlah yang sama (bahkan meningkat), rezeki itu tak terasa sebagai suatu yang luarbiasa. Ibaratnya, bila tiap hari hujan, maka curahan air dari langit adalah hal yang biasa. Beda bila di gurun pasir, turunnya hujan (yang langka) akan menjadi anugerah yang tak terkira.
Apakah saya harus miskin lagi agar bisa menikmati betapa berharganya rezeki? kalau begitu saya gagal. Apakah harus dicabut semua nikmat ini agar bisa menghargai nikmat Tuhan? ekstrim sekali… itu artinya saya harus mati agar bisa berterima kasih atas kehidupan ini. Artinya, semua sudah terlambat.
Lalu saya teringat ketika sholat ied, ada suatu kalimat yang diulang-ulang; “Fa-biayyi alaa’i Rabbi kuma tukadzdzi ban “. Baru kemarin saya cari surat apa dan apa artinya itu, kemudian terbentanglah surat Ar Rahman, yang mengulang sebanyak 31 kali kalimat “Fa-biayyi alaa’i Rabbi kuma tukadzdzi ban” (Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?) yang terletak di akhir setiap ayat yang menjelaskan nikmat Allah yang diberikan kepada manusia.
Tak terasa air mata meleleh. Mulai dari awal penciptaan, Allah telah memberikan nikmatnya. Namun setiap kali dianggap sebagai suatu keniscayaan, suatu hal yang tak perlu dipertanyakan lagi, sampai Allah sendiri menanyakan (berkali-kali) akan kedustaan itu. Tapi satu yang membuat saya terhibur, bahwa kelalaian saya ini memang wajar dalam diri manusia, setidaknya saya berpikir normal. Maka itu Al Quran selalu mengingatkan ‘kenormalan berpikir’ itu (bagi yang mau membaca).
Kembali ke sholat duha, terpikir kemudian betapa picik pikiran saya tentang rezeki. Kalau orang mengharap rezeki dalam arti harfiah berupa harta, kemungkinan itu terbuka lebar. Keyakinan akan rezeki diawal hari juga akan memotivasi kerja. Kalaupun rezeki dalam arti nominal harta belum didapat, konsep mengenai rezeki telah diubah dalam sholat duha. Rezeki lebih luas dari pada pendapatan harta. Mendapat satu juta rupiah dengan penuh rasa syukur insya Allah akan berbeda dengan mendapat satu juta dengan perasaan biasa. Mungkin istilahnya adalah barokah. Tidak mendapat sakit, musibah ataupun tambahan keinginan berbelanja, atau mendapat efisiensi menurut saya juga rezeki.
Seperti biasa, kemudian pikiran saya lalu kemana-mana. Saya melihat kembali keluarga saya ; nikmat Tuhan mana yang saya dustakan?.
Ya Allah, betapa terasa sekarang istri saya itu cantik, seksi dan baik sekali. Perempuan yang saya impikan dan saya perjuangkan agar menjadi istri saya. Dia pakaian saya, pelindung dari maksiat, pendamping setia dalam suka duka, serta pembimbing anak-anak saya.
Dan saya lihat anak-anak saya. Betapa lucu, cerdas, tampan dan cantiknya mereka. Anugerah bila saya nanti tak mampu punya amal lagi, apabila selalu mendoakan orang tuanya.
Dan nikmat Tuhan mana yang saya dustakan?
Mulai saat ini saya akan berbuat yang terbaik bagi mereka. Saya berjanji!